Mengapa Ajaran Jawa Tidak Memiliki Kitab Suci?
Sebuah Esai tentang Jalan Sunyi, Memori Leluhur, dan Kitab yang Tak Tertulis
Dalam banyak agama besar, kitab suci menjadi simbol kekuatan spiritual dan kebenaran mutlak. Tapi mengapa ajaran Jawa, yang telah hidup berabad-abad dan membentuk peradaban agung Nusantara, tidak memiliki kitab suci seperti Qur’an, Injil, Weda, atau Tripitaka? Apakah ini menunjukkan bahwa ajaran Jawa kurang berkembang? Atau justru menyimpan kedalaman yang tidak bisa dirangkum oleh teks?
1. Jalan Hidup, Bukan Jalan Dogma
“Ngelmu iku kalakone kanthi laku.”
(Ilmu itu hanya bisa diwujudkan lewat perbuatan.)
Dalam kebijaksanaan Jawa, ilmu bukan untuk dibaca, tapi untuk dijalani. Orang Jawa tidak meletakkan kebenaran di dalam huruf, melainkan dalam laku batin yang sunyi. Maka ajaran Jawa bersifat cair dan lentur. Ia hadir dalam tindak tanduk, dalam rasa, dan dalam sikap hidup yang selaras dengan semesta.
2. Rasa adalah Wahyu
Orang Jawa tidak mencari Tuhan lewat ayat-ayat tertulis. Mereka menyimak rasa. Tuhan dirasakan dalam angin yang berhembus, dalam suara gemericik air, dalam sepi malam, dalam napas yang naik-turun. Maka kitab suci orang Jawa adalah alam itu sendiri, dan rasa adalah cara membacanya.
3. Simbol, Bukan Syariat
Wayang kulit, keris, gamelan, tembang macapat, sesaji, warna-warna, dan arah mata angin—semuanya adalah bahasa simbolik. Mereka tidak menjelaskan kebenaran secara literal, melainkan menunjukkan arah bagi mereka yang siap menyelami makna di balik bentuk. Maka tidak ada satu tafsir tunggal. Yang ada hanyalah resonansi rasa yang dalam.
4. Keheningan sebagai Akar Ilmu
Salah satu ajaran tertinggi yang dikenal di tanah Jawa adalah Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu. Tapi ajaran ini justru tidak pernah ditulis secara lengkap. Mengapa? Karena ilmu ini hanya bisa diturunkan secara batiniah kepada mereka yang benar-benar siap. Menuliskannya akan merusak kesucian getarannya. Maka kesunyian adalah kitab sesungguhnya.
5. Leluhur adalah Kitab yang Hidup
Orang Jawa tidak belajar dari kitab, mereka belajar dari leluhur. Leluhur bukan sekadar tokoh masa lalu, tetapi bagian dari tubuh, ingatan, dan getaran darah kita. Apa yang diwariskan tidak selalu berupa kata-kata, tapi sifat, kebiasaan, bahkan bisikan batin. Maka tubuhmu adalah kitab. Dirimu adalah naskah suci yang terus ditulis oleh perjalanan hidup.
6. Primbon: Kalender Rasa dan Ritme Alam
Primbon, pawukon, wuku, dan weton bukanlah kitab suci. Ia lebih menyerupai kalender getaran—peta kecil untuk membaca gelombang kehidupan. Primbon tidak memberi hukum mutlak, tapi membimbing agar manusia hidup selaras dengan alam, waktu, dan rasa. Ini adalah ilmu titen: ilmu menyimak, bukan menghakimi.
7. Tuhan yang Tidak Dibatasi Nama
Tuhan dalam ajaran Jawa tidak dibatasi oleh satu nama. Ia bisa disebut Sang Hyang Wisesa, Gusti, Sangkan Paraning Dumadi, Kang Murbeng Jagad, atau bahkan tidak disebut sama sekali. Karena Ia tan kena kinaya ngapa—tidak bisa digambarkan, tidak bisa dijelaskan. Maka bagaimana mungkin sesuatu yang tak tergambarkan bisa ditulis dalam kitab?
8. Jalan Sunyi, Jalan Diri
Jalan Jawa bukan untuk keramaian. Ia tidak menawarkan pahala, tidak menjanjikan surga. Ia hanya mengajak pulang. Pulang ke rasa. Pulang ke jati diri. Mereka yang berjalan di jalur ini akan meninggalkan wacana dan kembali ke hening. Dalam hening itulah, suara sejati terdengar.
9. Kesimpulan: Kitab Itu Bernama Kamu
Kitab orang Jawa adalah rasa. Ayatnya adalah napas. Halamannya adalah langkah hidup. Dan pena yang menulisnya adalah getaran semesta.
Karena itu, tidak ada kitab suci tertulis yang dipuja secara mutlak dalam ajaran Jawa. Sebab yang sejati tidak bisa ditulis. Ia hanya bisa dijalani. Dan jika engkau cukup tenang, engkau akan tahu: kitab itu adalah kamu sendiri.